kreasi dari dunia sunyi kupu-kupu

 

aku ingin menjadi kupu-kupu 2012 (2)
aku ingin menjadi kupu-kupu 2012 (2)

Topeng tengkorak membuat Martha Devi Adiningtyas kesulitan bernafas. Wajar saja, topeng itu tanpa lubang dan ngepas di bagian hidung. Gerakan-gerakan Devi jadi terhambat. Padahal, kesempatan latihan cuma dua jam pada Rabu (15/5) petang itu.

Dara 22 tahun itu pun segera meminta ganti topeng yang lain. Segera setelah itu, ia sanggup leluasa menunjukkan kebolehannya: melipat dan mengayunkan tangan, melompat dan mengentakkan kaki. Kadang patah-patah, kadang begitu luwes dan cepat. Bersama rekannya, Arif dan Fani, gerakan Devi begitu energik dalam balutan gaya hiphop.

Latihan tersebut bagian dari penampilan mereka dalam Global platform for disaster risk reduction2013. Oleh sebuah lembaga swadaya dari Jerman, ketiganya diajak untuk mengikuti acara yang digelar di Jenewa, Swiss, pada17-23 Mei , tersebut. Undangan ini datang karena sebelumnya mereka rutin mengajar tentang kewaspadaan akan bahaya gempa di Gunungkidul. Pesertanya anak-anak desa penyandang tunarungu.

Di ajang gelaran PBB itu, mereka mengikuti diskusi dan memberi pelatihan tentang tanggap bencana. Seperti di Gunungkidul, dengan sasaran-ajar bocah-bocah bisu-tuli, pelatihan yang Devi dkk berikan di Swiss nanti secara visual.

Bukan hanya dengan komik dan kartun, namun lebih unik lagi yakni dengan puisi isyarat atau pantomime. Nah, di luar pelatihan bencana itu, ketiganya juga bakal unjuk-gigi berhiphop ria. “Kami diundang sebagai trainer gempa, satu-satunya wakil dari Indonesia,” ujar Devi dengan suara kurang jelas dan terputus-putus, sambil terus menggerakkan jari-jari tangannya.

Ya, Devi sendiri penyandang tunarungu. Mahasiswi semester 2 Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain (STSRD) Visi, Jogja, ini mesti berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Menurut dia, yang dibantu seorang “penerjemah”, disabilitas ini ia peroleh karena kondisinya saat usia 6 bulan dalam kandungan sangat lemah.

Namun ia mengaku tak pernah mendapat perlakuan tidak mengenakkan sebagai difabel. “Paling kesulitan komunikasi dengan teman,” ujar gadis kelahiran Jogja, 25 Maret 1991 ini, masih dengan terbata-bata.

Kala menempuh studi di SMK Bopkri 2 Jogja misalnya, hanya ia satu-satunya yang menyandang tunarungu. Untunglah ada seorang kawan yang mengerti bahasa isyarat dan mau menjadi pendampingnya bersosialisasi. Kini ketika kuliah, Devi memiliki kawan sesama tunarungu.

Bukan hanya pede bersekolah di sekolah umum, Devi pun mampu menemukan dan menggali bakatnya yakni menari, terutama tari payung dan tari kreasi baru. Sampai pada 2005, ia mendengar dari seorang rekan difabel tentang komunitas difabel yang asyik. Namanya Deaf Art Community (DAC).

Di situ, anggotanya dibebaskan belajar hal yang disukainya termasuk tari dan seni-seni yang tak diajarkan di sekolah umum atau SLB. Mulai dari tari hiphop, pantomime, teater, hingga freestyle. “Saya suka di DAC karena bisa belajar hiphop,” ujar dara berambut cepak dan bergaya tomboy ini.

Devi bilang belajar gerak tari hiphop secara otodidak. Antara lain dengan menonton video-video tari hiphop di situs video youtube. Setelah itu, ia menirukan gerakan-gerakan itu dan mengembangkannya. Ia juga bertukar pendapat dan berlatih bersama dengan kawan-kawannya di DAC.

Kadang, DAC mendatangkan instruktur khusus, terutama untuk melatih jelang pentas. Sudah tak terhitung pentas Devi bersama DAC sejak 2005. Yang terakhir, ia ikut tampil di ajang Gelar Pantomim Jogja, akhir April silam, dengan lakon I’m Butterfly.

Mime ini berkisah tentang kehidupan Devi dan teman-temannya sendiri sesama penyandang tunarungu yang kerap dianggap oleh orang-orang seperti ulat: bentuknya aneh dan menjijikkan. Namun mereka yakin suatu saat sebagai ulat mereka sanggup berubah menjadi kupu-kupu yang indah dan terbang bebas ke mana saja tanpa batas.

Kini, saban Senin dan Jumat sore, Devi dan rekan-rekannya juga mengisi kelas bahasa isyarat di DAC. Semula kelas ini hanya diperuntukan bagi awak DAC guna meningkatkan kemampuan bahasa isyarat. Namun, saat ada orang luar non tunarungu ikut kelas ini dan tertarik, hingga pesertanya bertambah terutama dari mahasiswa, kelas bahasa isyarat terbuka untuk umum.

Selama beberapa hari ini, Devi harus konsentrasi ke materi pelatihan tanggap bencana. Maklum saja, acara di Swiss itu diikuti berbagai negara dunia, terutama dari Eropa. Karena waktu yang mepet, persiapan ke Swiss pun dilakukan dengan serba cepat. Latihan hiphop cuma sekali saja selama dua jam sore itu. Itupun cukup dengan arahan pendiri DAC, Broto Wijayanto.

**

Deaf Art Community (DAC) didirikan oleh Broto Wijayanto, guru-teater honorer di SMKI Yogyakarta. Cikal bakalnya adalah Matahariku Voluntary Social, komunitas untuk anak-anak difabel yang digagas mahasiswa Psikologi UGM pada 2004. Suatu kali Broto diajak untuk mengisi acara di situ. Semula ia tidak tahu ia bakal tampil di depan bocah bisu-tuli.”Begitu tahu untuk anak tunarungu, wah saya bingung, mau apa ini,” ujarnya.

Dengan latar pendidikan teater di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, Broto punya ide untuk menampilkan pantomime. “Gerak-gerak realis saja, sepertti mengejar orang atau ngadang bis,” kata pria ramah, murah senyum, dan serba ceplas ceplos ini.

Tak dinyana, anak-anak tunarungu tertarik dengan penampilan Broto. Sebetulnya, jelas Broto, para difabel tahu tentang seni pantomime yang hanya butuh kemampuan gerak sehingga sangat potensial bagi penyandang tunarungu. Tapi selama ini tidak ada yang memfasilitasi. “Jadi saya cuma memfasilitasi. Sejak itu, kami nyambung. Saya keterusan nyebur sampai sekarang,” ucapnya.

Sayang, komunitas Matahariku bubar ditinggal aktivisnya. Broto pun menampung remaja tunarungu di kamar kosnya yang sempit di Jalan Langenastran Lor. Awalnya ia mengaku kewalahan, terutama soal komunikasi. Soalnya Broto tak punya latar pendidikan dan pengalaman dengan difabel. “Jadi saya seperti yang paling cacat di antara para cacat,” ia mengibaratkan.

Tapi dari gerak-gerak mime yang ia tunjukkan, Broto bertukar kata dengan anak-anak tunarungu yang umumnya telah menguasai bahasa isyarat. Ia pun minta tiap kata dieja dan ia mesti belajar abjad A-Z dalam bahasa itu. Penguasaan abjad dalam bahasa isyarat penting ketika suatu kata susah dirujuk di “kamus” bahasa isyaratnya. Dari kata per kata, ia mulai mampu berkomunikasi dengan tunarungu.

Dari situ, Broto mengerti bahwa penguasaan bahasa isyarat juga menjadi problem dalam dunia tunarungu. Ada pro kontra mengenai penggunaan bahasa isyarat. Ada yang yakin bahasa isyarat adalah ibu para tunarungu sehingga menerapkannnya. Sebaliknya, ada yang tidak setuju dan menganggap para tunarungu tetap wajib menggunakan bahasa oral. “Alasannya mereka nanti menghadapi dunia luar bukan dengan tunarungu saja,” jelas Broto.

Di luar negeri, biasanya bahasa isyarat dan kemampuan oral diajarkan bersamaan. Meski kemudian bahasa isyarat lebih utama seperti di Amerika Serikat. “Indonesia belum bisa sepakat, jadi dididik sesuai lingkungan masing-masing,” kata dia. Misalnya ada SLB kita yang mewajibkan tunarungu berkomunikasi secara oral. Dalam latihannya, tangan bisa diikat dan dipukul bila ketahuan menggunakan bahasa isyarat.

Broto membebaskan anak DAC memakai dua bahasa itu. Seringkali campuran, namun akhirnya lebih kerap menggunakan bahasa isyarat. Alasannya simpel: bahasa oral bikin capek. Di DAC dibolehkan bahasa isyarat di luar pakem bahkan asal-asalan asalkan lawan bicara paham.”Sebeda-bedanya bahasa isyarat ada kesamaan,” kata dia yang membuktikan hal itu saat bertemu tunarungu Spanyol dan Jepang yang bertandang ke DAC.

Sembari belajar berkomunikasi, ia mulai mengembangkan bakat seni para tunarungu. Apa saja, tanpa adanya latihan formal dan jadwal khusus. “Modelnya ngawur,” kata Broto sambil terbahak.”Sebetulnya di sini jadi ajang curhat teman-teman saja. Mereka hanya perlu difasilitas.Anak-anak dengan pede memilih,” ujarnya.

Untuk kemampuan tari hiphop misalnya, awalnya anak-anak DAC menyaksikan dari video di youtube, lalu menirunya. Instruktur diundang untuk melatih. Namun selanjutnya anak DAC wajib mengembangkan gerak sendiri. “Dilarang njiplak. Harus bikin ide baru,” kata Broto, tegas.

Keanggotaan DAC terbuka sehingga tak ada personel tetap. Sempat melibatkan 30 hingga 40 anak, kini ada 20 anak yang aktif bergiat di DAC. Mulai kelas 4-5 SD sampai mahasiswa. Informasi tentang DAC secara gethok tular antar teman. “Siapa saja boleh keluar masuk.” Tak ada pula spesialisasi. Jika ada pentas, Broto tinggal mengumumkan siapa yang mau terlibat dan ikut latihan. Rata-rata tiap pentas melibatkan 9-10 personel.

DAC tak memungut biaya. Bahkan Broto melarang adanya iuran rutin. “Buat apa?” kata dia. Saban pentas, menurut dia panitia telah menanggung akomodasi bahkan memberi honor. Honor dijadikan kas yang digunakan untuk operasional. Kalau dana untuk kegiatan kurang, ia baru mengabari orang tua untuk patungan. “Saya juga ikut bayar.”

Broto bergerilya menitipkan DAC ke sejumlah pentas di Jogja dan luar kota. Lambat laun, terutama sejak2010, DAC mulai dikenal di kalangan seni pertunjukan Jogja. Uniknya, mereka mengembangkan cara apresiasi tersendiri. Misalnya, karena mereka tak bisa mendengar, penonton diminta mengganti tepuk tangan dengan lambaian tangan.

Kini, situasi berbalik. DAC sering diundang tampil dalam berbagai acara. Bukan hanya di acara seni, tapi juga di sekolah, SLB, dan yayasan difabel, hingga luar kota. Minimal dua-tiga kali pertunjukan dalam sebulan. Jika semula latihan sesukanya, kini nyaris rutin mengikuti jadwal manggung. Dalam setiap pentas, DAC membawakan pesan tentang rasa percaya diri seorang difabel.

Untuk pertunjukan mime, ada tiga lakon yang dibawakan: “Aku Juga Anak-anak Adam dan Hawa”, “Aku Ingin Menjadi Kupu-kupu”, dan “I’m Butterfly: Colour of Life”. Di luar itu ada modifikasi gerak dengan pesan dan ending kisah yang sama: menjadi kupu-kupu. Hewan ini menjadi simbol bagi anak-anak DAC bahwa semula yang dianggap aneh dan menjijikkan bisa berubah menjadi indah.

Kini tengah digodok lakon baru yang akan dipentaskan Desember. Adapun untuk pentas hiphop, music dan koreografi lebih bebas dan mereka dibantu lima pemain beatbox dan rapper langganan.”Semua ide dasar dari anak-anak DAC,” ujar Broto.

Sejak tampil di tivi nasional, Hitam Putih Trans7, DAC tambah ngetop. “HP saya jadi nggak pernah mati,” ujarnya. Gara-garanya, salah satu pengisi rutin acara bincang-bincang itu, yakni seorang pemain beatbox, satu panggung dengan DAC di Jogja. Ia pun mengusulkan DAC sebagai bintang tamu acara tersebut.

Dari situ, banyak orang dari berbagai daerah bertanya tentang DAC. Tak sedikit pula yang mau belajar di DAC. “Masak enggak bayar dan enggak ada asramanya? Enggak buka cabang juga ya?” kata para penelpon seperti ditirukan Broto. Untuk itu, Broto minta mereka untuk berkunjung dan melihat aktivitas DAC lebih dulu.

DAC pindah ke sebuah rumah tak jauh dari kos Broto di Jalan Langenastran Lor 16 setahun silam. Tempat belajarnya ruangan seluas 6×5 meter dan latihan dilakukan di pelataran rumah yang asri. Rumah ini disewa sebuah lembaga swadaya masyarakat yang diikuti Broto. “DAC itu kere. Statusnya di sini numpang hidup,” Broto terkekeh.

DAC pun makin ramai. Dari difabel yang mau ikut bergiat di sana, sampai tempat mempraktikkan ilmu mahasiswa jurusan pendidikan luar biasa (PLB) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Orang tua awak DAC pun berkumpul dan membentuk komunitas sendiri. “Sekarang orang tua protes, kenapa nggak ada iuran,” ujar Broto yang mempertahankan DAC tetap cuma-cuma.

Kreativitas anak DAC pun terus dikembangkan. Mereka berlatih membuat kerajinan dari barang bekas seperti lampu hias, topeng, dan souvenir. Juga bekerjasama dengan tukang kaos menciptakan kaos-kaos dengan sablonan berisi pesan-pesan kepedulian pada difabel. Karya-karya itu dipajang di satu sudut markas DAC dan dijual untuk menunjang kas DAC.

Selanjutnya Broto berencana untuk lebih serius mengkordinasi anak-anak tunarungu kisaran kelas 1-2 SD. “Karena selama ini campur,” ujarnya. Selain itu, juga memenuhi berbagai undangan untuk tampil sembari mengampanyekan perlu member ruang kebebasan ekspresi pada anak tunarungu. “Kalau jadi terkenal, itu efek manis saja,” kata Broto, bergegas menyiapkan latihan pertunjukan awak DAC di Swiss.

**

Hingga matahari terbenam dan markas DAC jadi gelap, olah gerak yang dikembangkan sendiri oleh Devi, Arif, dan Fani sudah menemukan bentuk dan nyaris jadi. Tak ada kendala berarti. Mereka sepertinya mulai telah berubah menjadi kupu-kupu.

Tinggalkan komentar