cahaya surga sumur jomblang

IMG_7171e

Saya merasa seperti Batman ketika berada di dasar sumur di film The Dark Knight Rises. Tapi tanpa rasa takut, putus asa, dan punya harapan untuk segera keluar dari dasar itu. Yang ada hanya rasa takjub.Inilah mungkin wujud asli Lazarus Pit itu.

***

Kami mengira salah jalan dan tersesat. Di depan kami hanya ada jalan selebar mobil. Itupun berupa setapak bebatuan. Papan petunjuk arah lokasi tujuan dari secuil kayu kurang meyakinkan kami. Alhasil informasi dari warga setempat kami butuhkan. Dan jalanan inilah yang ia tunjukkan—dengan keramahan yang tulus—bukan jalan beraspal yang kami pilih sebelumnya.

Setelah menyusuri jalan berbatu itu sekira 20 meter, tanpa ada perbedaan kondisi jalanan, saya dan dua teman harus meyakinkan diri dengan bertanya sekali lagi. Seorang warga desa, masih dengan sikap ramah, pun meyakinkan kami. Bahwa betul jalan yang kami lalui ini jalan yang benar ke tempat tujuan.

Jalanan makin sempit dan bergelombang. Kiri kanan hutan berganti dengan tegalan. Di sebuah tikungan kecil, saat ada sebuah truk dari arah berlawanan, mobil kami harus mundur lebih dulu ke rerumputan di luar badan jalan. Memberi kesempatan truk itu lewat. Tak ada tempat untuk dua kendaraan.

Hari belum mengancik setengahnya. Tapi matahari seperti berada sejengkal di atas dusun Jetis Wetan, Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Gunungkidul, DIY, yang kami singgahi, Ahad, pertengahan April lalu, ini.

Sebuah tenda komando kelir hijau tua akhirnya menghilangkan keraguan kami. Di baliknya terdapat sebuah area lapang dengan beberapa sepeda motor terparkir. Suasana asri dan teduh dengan banyak pohon dan rumput yang terpangkas rapi. Seperti langsung mengusir rasa gerah yang luar biasa.

Di seberang pelataran itu sebuah rumah lumayan mewah bersisian dengan bungalow terbuka dilengkapi meja-kursi tamu dan satu televisi. Tersuguh satu teko teh dengan gula batu. Menempel  dengan bangunan ini, ada toilet dan jajaran shower dengan sekat dan lantai keramik. Di satu sudut, sepatu bot, helm, karabiner, tali, dan perlengkapan caving lainnya teronggok.

Dua petugas dengan atribut lengkap menyapa tanpa basa-basi. “Ayo mas, segera nyusul, sudah ditunggu di bawah,” ujar koordinator instruktur gua, Kurniawan Adi Wibowo yang akrab dipanggil Pitik.  Dengan sigap, Pitik dan seorang instruktur gua membebat kami dengan peralatan susur gua.

Kami pun menuju “ke bawah” dengan berjalan sekitar 30 meter. Kontur tanah memang landai menurun. Dari jauh tampak sekira 15 orang bapak-bapak dan remaja. Beberapa duduk-duduk di suatu gubug. Yang lain—terutama yang mengenakan kaos oranye—berdiri siaga meski sambil candatawa. Mereka berdiri tak jauh dari satu pohon sambil menggenggam bentangan tali.

Bentangan tali itu terhubung pada suatu rangka besi. Tak hanya tali, semua mata orang-orang di sana juga tertambat pada besi tersebut. Rupanya, rangka besi ini berfungsi sebagai katrol dan menjadi akses utama ke lokasi tujuan kami. Ini semacam lubang masuk yang menganga dengan diameter sekira 50 meter. Pintu masuk yang langsung menonjok nyali sekaligus melecutkan adrenalin kami: Luweng Jomblang.

**

Luweng berati berati liang atau lubang pada tanah.  Kondisi ini terbentuk karena runtuhnya permukaan tanah beserta batuan dan vegetasinya. Bentuknya yang berupa lingkaran membuatnya mirip sumur alam raksasa.

Gua ini terletak sekira 10 kilometer dari pusat kota Wonosari atau 50 km dari Kota Jogja. Gunungkidul memang kaya akan lokasi gua—ada yang menyebut sampai sekira 400 gua– karena merupakan daerah pegunungan karst. Kondisi alamnya didominasi kapur dengan batuan yang keras dan tanah nan gersang.

Wilayah dengan kondisi geologis seperti ini terbentang di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa. Mulai dari Gombong, Kebumen, Jawa Tengah hingga Pacitan, Jawa Timur.  Namun lingkungan sekitar Luweng Jomblang tak kering-kering amat. Masih terdapat tegalan dan pepohonan liar yang justru membuat suasana rimbun, asri, sekaligus terkesan liar dan eksotis.

Semakin dekat ke lokasi Jomblang, akses jalan memang kian susah. Namun jalan utama dari Jogja-Wonosari-hingga Jalan Semanu sudah beraspal dan dalam kondisi oke. Selain menggunakan kendaraan pribadi, pengunjung dapat mengandalkan sejumlah biro wisata yang bekerjasama dengan pengelola gua. 

Namun jika hendak berpetualang dengan kendaaraan umum, anda dapat naik bus. Tersedia bus antar-kota dari Jogja ke Wonosari, berlanjut bus kecil dari Wonosari hingga Pasar Munggi. Setelah itu, untuk sampai lokasi, anda dapat menggunakan jasa ojek, Rp 15 ribu. Total biaya sekira Rp 30 ribu.

***  

Luweng Jomblang hanya sebuah pintu. Sebuah pintu tentu saja hanya alat masuk. Masuk ke suatu tempat, termasuk situs-situs purba yang dibentuk oleh alam. Untuk masuk ke “pintu” ini, instruktur susur gua harus lebih dulu menyiapkan pengamanan bagi pengunjung. Inilah prosedur utama memasuki Gua Jomblang.

Setelah mengenakan sepatu bot dan helm, sabuk pengaman dilingkarkan pada dua paha hingga pundak kami. Saat sabuk dipasang ke lingkar dua paha, badan mesti dalam posisi duduk. Tubuh juga harus dalam kondisi rileks. Tujuannya agar sabuk terpasang ketat dan kuat.

Waktu menyiapkan perlengkapan, instruktur juga menyampaikan tata tertib sepanjang menyusuri gua. Seperti jangan panik jika ada hambatan, berjalan bergantian, dan larangan membuang sampah.

Kami turun tebing dengan metode lowering dengan bantuan katrol di rangka besi. Metode ini untuk pengunjung tanpa pengalaman turun naik tebing. Cara ini memungkinkan pengunjung pasif saat menuruni tebing. Pengunjung tinggal rileks dan menyiapkan nyali saja. Tubuh dalam posisi duduk menggantung. Untuk formalitas, kedua tangan memegang tali utama yang menghubungkan tubuh ke para petugas di atas tebing.

Cara ini sering digunakan dalam evakuasi penyelamatan korban.  Ada 10-15 orang yang menarik dan mengulur tali kita. Empat-enam orang petugas utama siaga di katrol di rangka besi. Sedangkan 10 orang sigap mengendalikan tali, atau menautkan ke pepohonan sebagai pengaman tambahan.  Bagi yang baru kali pertama turun tebing pun tidak perlu kuatir. Pengunjung turun secara tandem bersama instruktur.

Jalur turun tebing dari rangka besi disebut jalur cakruk. Cakruk adalah gubug atau posko sehingga nama jalur ini secara bercanda mengacu tempat nongkrong para petugas tambahan—yang merupakan warga setempat. Jalur ini hingga ke dasar luweng setinggi 60 meter. Minim hambatan seperti batang dan ranting pohon. Juga ada jarak yang lebar antara tali dan tebing. Dibutuhkan waktu sekira 3 menit untuk turun dengan model lowering ini.

Di bagian lain luweng, ada jalur turun naik tebing lainnya yang disebut jalur VIP. Tingginya 20 meter. Jalur ini mepet tebing dan banyak tantangan. Kemampuan dan kekuatan kaki sungguh diperlukan sehingga jalur ini khusus bagi profesional. “Butuh advance skill,” tegas Pitik. Sistem naik turunnya menggunakan single rope technique alias teknik tali tunggal dengan perlengkapan lebih komplit seperti footloop dan jammer.

Momen turun-naik tebing inilah yang bikin deg-degan. Rasa takut dan cemas seperti diaduk-aduk bersama rasa senang dan takjub. Takut dan cemas mengingat apakah pengamanan dan proses turun tebing ini sudah berjalan dengan benar. Senang dan takjub lantaran ini pengalaman langka di situs alam langka dunua dengan dinding tebing berupa batuan purba.

Kedua kutub rasa ini datang bergantian dan berusaha menjadi lebih unggul. Tapi, bagi petualang amatir seperti kami, pemenangnya sepertinya sudah ketahuan. Apalagi kala badan kami menyenggol ranting-ranting pohon yang tumbuh di tebing. Semoga kami tak nyangkut!

Akhirnya tebing purba menjadi pengalih perhatian kami. Selain demi mengabadikannya lewat kamera, tentu saja cara ini untuk mengusir godaan untuk melihat ke dasar gua. Godaan yang terakhir ini sulit untuk ditampik meski akibatnya kepala serasa berputar dan adrenalin langsung melonjak. Di bawah sana tampak tanaman liar menanti.

Waktu terasa lambat. Kami turun perlahan–atau, mungkin, perasaan kami saja yang merasanya begitu pelan. Tapi waktu naik tebing gua nanti, masih dengan bantuan katrol, makan waktu lebih lama yakni 10 menit. Soalnya saat itu ada bagian “berhenti di tengah jalan” sekira 2 menit. Pada waktu inilah petugas tambahan di atas sana menautkan rentangan tali ke pohon sebagai penahan. Efeknya, tali berpilin dan membuat tubuh berputar sampai kepala terasa pening.

Akhirnya, orang-orang di atas tak terlihat lagi—terhalang oleh tanaman di dinding tebing. Suara-suara mereka juga makin samar. Kaki pun menginjak salah satu bagian dasar gua dengan kontur  kurang rata. Kami menemui lingkungan yang agak berbeda dengan ekosistem di atas tebing.

Selamat datang di hutan purba! Dengan kelembaban tinggi, tanahnya becek dan bebatuan diselumuti lumut. Vegetasi di atas tanah yang runtuh jutaan tahun silam rupanya terus beregenerasi. Misalnya figus dan beringin purba yang tergolong jarang. Namun tanaman liar seperti paku-pakuan dan semak-semak lebih dominan.

Kami pun harus melintasi area terjal berbatu dengan hati-hati karena licin. Di antara itu, Jalan setapak samar terbentuk. Hingga disambung dengan suatu jalur dari batu bata yang ditata menyerupai anak tangga. Setelah mengikuti susunan batu itu, kami tiba di area landai menurun. Di ujungnya lubang hitam menganga. Sama sekali tak terlihat apa yang ada di dalamnya. Kami masih terus mengikuti jalur batu bata itu hingga masuk ke dalam mulut liang dan menemukan sebuah lorong hitam seperti tanpa ujung.

Kondisi di dalam lorong itu gelap. Lebar mulut lorong sekira 6 meter dan  terus menyempit. Situasi semakin lembab. Kami masih mengikuti jalur batu sebagai pijakan kaki.Semakin ke dalam, suasana makin gelap dan lembab.  Helm yang kami kenakan memiliki lampu. Tapi rupanya tak menyala. Pemandu jalan yang paling bisa diandalkan adalah suara kaki berserta percakapan dan canda rekan-rekan kru caving.

Cahaya terbatas datang dari lampu LED yang dipasang di satu-dua sudut gua. “Jangan terlalu banyak dan lama nyalanya karena panas lampu bisa merusak isi goa,” ujar Pitik. Dari cahay samar itu, terlihat dinding dan bagian atas lorong dipenuhi stalaktit dan stalakmit.

IMG_6825ePerjalanan dalam lorong gua yang gelap menempuh sekira 350 meter. Sampai kami mulai melihat di depan sana selarik cahaya yang kian lama kian terang. Ditambah pula sebuah suara gemuruh yang makin jelas : sebuah gerojokan dan deburan air tanpa henti.

Di ujung lorong, lubang  menyempit dan menanjak. Namun dari sini sudah tampak mahakarya itu. Kami baru benar-benar takjub di hamparan pahatan alam yang disepuh Cahaya Surga. Adrenalin dan lelah kami entah menguap ke mana. Berganti rasa takjub yang tak habis-habis. Orang-orang menyebut gua ini sebagai Luweng Grubug.

Ruang gua itu terbentang kurang lebih 1000 meter persegi. Nyaris segala penjuru berupa batuan liar yang tertempa alam. Stalaktit dan stalakmit bertonjolan dari sana sini. Bahkan sampai di bawah sana, di jurang cadas dengan dasar aliran sungai yang mengalirkan arus air tanpa jeda. Sungai ini bagian dari sistem sungai bawah tanah Kalisuci.

Namun tak dapat dimungkiri atensi kami lebih tersedot ke bagian atas gua. Pada dua tonjolan batuan asimetris di puncak gua yang menantang angkasa. Dan alam memang mulia: dalam keindahan bawah-tanah yang dibungkus kegelapan itu terciptalah sebuah lubang di langit-langit gua.

Dari situlah, mentari di luar sana menyorot sisi-sisi gua. Apalagi jika pada tengah hari dan tanpa halangan awan, sinar matahari tepat menerangi dua puncak gua. Seperti selarik sorot senter raksasa yang mencari dan menunjukkan keindahan yang tersembunyi di dasar kegelapan. Inilah Cahaya Surga.

**

Proses terbentuk lubang di “atap” Luweng Grubug sama seperti Luweng Jomblang. Tanah di permukaan runtuh ke dalam gua. Tidak jelas kapan terjadinya. Dalam istilah geologi, runtuhan ini disebut sinkhole.

Lubang inilah yang menjadi tempat masuknya “Cahaya Surga”. Tabir cahaya ini terbentuk karena sinar matahari ditangkap oleh uap air yang berasal dari sungai di dalam gua. Begitu memasuki lingkaran lubang gua dan menembus kegelapan, cahaya tersebut menjadi begitu mempesona.

Lubang di langit gua Grubug tak sebesar Luweng Jomblang yang menjadi pintu masuk pengunjung. Luweng Grubug sebetulnya juga bisa dituruni. Namun ini butuh kemampuan khusus. “Orangnya harus memiliki sertifikat dari asosiasi caver,” kata Pitik.

Maklum saja, medan Luweng Grubug lebih menantang. Jika Luweng Jomblang lebih mirip sumur, bentuk Luweng Grubug berongga. Lubang di langit-langit gua jauh dari sisi dinding gua. Ketinggian lubang dengan satu sisi landai gua yang disusuri pengunjung dari Luweng Jomblang 90 meter. Sementara tinggi seluruhnya dari lubang atap sampai dasar sungai sampai 210 meter.

Perjalanan dari Luweng Jomblang menembus lorong gelap berujung pada satu sisi Luweng Grubug. Sisi ini menanjak menuju dua stalakmit utama yang seakan menjadi pusat Grubug. Bentuk dua batuan ini berupa gundukan dan sekilas mirip lingga yang tumpul karena puncaknya datar. Tingginya sekitar 3 meter dan lebar 2 meter.

Disebut pusat karena dengan siraman Cahaya Surga, dua bongkahan inilah yang mencolok terlihat. Namun rupanya warna terang dari kejauhan bukan lantaran Cahaya Surga belaka.  Warna dua batuan ini memang putih gading. Yang tak kalah menakjubkan ia memiliki ornamen ulir nan halus. “Ini masih hidup. Artinya masih bisa terbentuk lagi,” ujar Pitik.

Batu ini disebut flowstone atau batu bunga. Alur-alur yang mirip corak terasering sawah disebut gordam. Setiap senti gordam memerlukan waktu pembentukan sampai 10 tahun. Ornamen ini terbentuk dari endapan partikel batu kapur yang tertetesi air secara terus menerus. Dengan alur sedemikian rapat dan detail, flowstone Grubug terbentuk dalam waktu jutaan tahun dan disebut makrogordam.

Pengunjung boleh saja naik hingga bagian atas flowstone yang datar. Di situ, pengunjung seolah bisa menikmati shower alam di atas batu cantik ini. Namun syaratnya turis wajib mencopot sepatu bot. Pengunjung pun mesti naik ke puncak batu satu persatu secara bergantian.

Tujuannya untuk menjaga daya hidup dan kelestarian flowstone. Wajar saja, di beberapa bagian bawah dan pangkalnya–bagian yang telah diinjak-injak banyak pengunjung—batu tersebut telah kusam. Gurat dan coraknya sudah nyaris rata, tak terbentuk, dan  tak bisa tumbuh lagi. “Alias sudah mati,” lanjut Pitik. Lantaran itu pula, pengunjung dibatasi maksimal 25 orang dalam satu sesi penyusuran masuk gua.

**

Imelda Tan seperti atlet senam. Dara 21 tahun asal Singapura itu berpose kayang. Seorang kawan lelakinya terus-terusan memotret dengan kamera SLR. Kali lain, gantian, si cowok meloncat tinggi dengan tangan tengadah dan senyum merekah.

Tidak ada yang menganggap mereka norak. Saya dan dua kawan pun entah berapa kali mengambil foto diri. Dengan berbagai gaya, dengan aneka latar belakang. Pitik yang kebagian repot sebagai juru jepret. Giliran dimintai gantian nampang, ia menggeleng. Pitik justru jongkok sambil menyalakan rokok mild-nya; tanpa peduli limpasan air. “Saya ndak narsis,” ujarnya cuek.

Kali ini kami ikhlas disebut narsis demi bisa foto-foto di Luweng Grubug. Dua flowstone putih gading menjadi studio foto alam. Latar favoritnya jelas lubang langit gua beserta Cahaya Surga. “Di Singapura, ini tidak ada. Kami menemukannya lewat internet. Sangat menarik,” tutur Imelda yang basah kuyub sambil terengah-engah.

Setiap pengunjung dipatok biaya Rp 450 ribu. “Mau lokal atau turis asing sama saja,” kata Pitik. Kunjungan personal maupun rombongan juga tidak dibedakan. Selain perlengkapan caving dan panduan, ada paket makan siang. Pengunjung tidak diberi batasan waktu saat berada di dasar dan dalam gua.

Pitik menyatakan selalu ada pengunjung, terutama hari Sabtu, Minggu, dan hari libur. Kalau dirata-rata minimal 5 orang turis tiap pekan. Pengunjung selalu menanyakan adanya penginapan di sekitar gua. Sayangnya, hingga saat kunjungan saya April lalu, fasilitas ini belum dioperasikan.

Selain itu, keluhan utama adalah soal akses ke lokasi  gua. Medan jalan di Desa Jetis Wetan sungguh berat. Namun Pitik menjelaskan lingkungan sekitar gua memang dipertahankan apa adanya. “Konsepnya memang ekowisata,” ujarnya.

Wisata susur gua dikoordinasi di bawah Resort Jomblang. Pemiliknya Cahyo Alkantana, seorang petualang dan pakar susur gua kawakan. Meski belum mengnatungi izin secara resmi, pengelolaan wisata ini telah disetujui pemda setempat.

Hal itu tak lepas dari pengelolaan wisata yang melibatkan warga sekitar. Enam orang, yang memiliki seragam oranye, jadi petugas tetap. Adapun warga lain, 10-15 orang, bertugas membantu tarik-ulur tali pengunjung sebagai tenaga tambahan. Tiap hari mereka mereka menerima Rp 50 ribu.

Satu jam lewat dari tengah hari itu kami baru beruntung. Mendung tipis sama sekali lenyap. Matahari menyala  dengan kekuatan penuh. Selarik garis cahaya pun turun di rongga Grubug yang gelap. “Ray of light grubug salah satu yang terbaik di dunia,” kata Cahyo ketika saya hubungi.

Kehadiran garis cahaya ini konstan karena keberadaan uap air yang terus menerus ada. Ini tak lepas dari sumber-sumber mata air dalam gua dan sungai dasar gua. Sungai bawah tanah dengan kedalaman 150 meter dan arus 5000 liter perdetik ini dimanfaatkan untuk susur kayak sejauh 700-800 meter pada musim kering, Juli-Oktober. Apalagi pada ujung sungai ini terdapat dua air terjun. “Grade adventurenya tinggi,” ujar Cahyo.

Dengan segala potensi itu, toh status pengelolaan Jomblang belum tuntas. “Ijin pengelolaan saat ini sedang dalam proses sesuai arahan dan kesepakatan dengan pemda, dari pemerintah desa sampai dengan tingkat kabupaten,” ujar Cahyo. Sekadar catatan, hingga kini belum ada kontribusi pemda terhadap situs alam dan daerah sekitar luweng.

Bukan hanya untuk petualangan, Luweng Jomblang dan Grubug juga punya potensi lain. Cahyo menjelaskan, kandungan dan kondisi hidrologi sistem Kalisuci di dasar Grubug tengah diteliti dan rencananya Dinas Pekerjaan Umum bakal memanfaatkannya untuk irigasi wilayah setempat. Selain itu, vegetasi purba Jomblang pun lagi dikaji ilmuwan LIPI untuk memperkaya khazanah biologi kita.

**

Jika anda penikmat cerita Batman, mungkin anda tahu Lazarus Pit. Dalam komiknya, sumur ini berfungsi memulihkan kondisi Batman yang babak belur. Bahkan konon menjadi sumber keabadian. Dalam film The Dark Knight Rises, sumur itulah yang menempa mental Batman hingga sanggup bangkit dan melawan kebathilan.

Lazarus Pit terbukti ada di Luweng Grubug. Andai saja Bob Kane,pengarang cerita Batman, bisa ke sini dan Christopher Nolan bisa memboyong syuting film Batman kemari. Seperti Lazarus Pit, Grubug menyehatkan fisik dan mental bahkan spiritual kita sekaligus. Olah tubuh untuk turun-naik ke sini, menyegarkan jiwa dan semangat kita, hingga memancing tanya juga takjub; siapa yang kuasa mencipratkan kuas cahaya di dasar yang gelap ini.

Bukankah itu semua bisa memperpanjang umur kita?

IMG_6868e[foto-foto Ardi Widiyansah]

Tinggalkan komentar