memburu botoh pilkada

2015-11-20 12.01.39
Badannya ceking. Dua cincin akik melingkari jari manis kanan-kiri. Sebatang rokok kretek disedot lewat pipa kecil. Budi Sragen, 41 tahun, sapa saja begitu, mengajak saya sarapan nasi tumpang, semacam nasi pecel, di utara Alun-alun Sragen, Jawa Tengah, Jumat, 20 November lalu, tiga pekan sebelum pilkada serentak digelar.

”Ini pilkada paling setan,” ujar Budi setelah membaca headline koran lokal Solopos, sehari sebelumnya, ”Pilkada Sragen: 20 Botoh Siapkan Dana Miliaran Rupiah”.

Botoh adalah sebutan untuk bandar judi. Pemilihan Bupati Sragen dalam pilkada serentak 9 Desember nanti diikuti empat pasangan. Tingkat persaingan pun ketat.

Dalam bursa botoh Sragen, kompetisi terkuat mengerucut kepada dua pasangan. Bupati petahana, Agus Fatchurrahman-Djoko Suprapto (Amanto), usungan Golkar dan Hanura; dan Kusdinar Yuni Untung Sukowati-Dedy Endriyatno, usungan Gerindra dan PKS. Yuni adalah putri Untung Wiyono, bekas Bupati Sragen yang dipenjara karena korupsi lalu digantikan Agus Fatchurrahman, wakilnya.

Pertarungan sengit Agus dan Yuni adalah pengulangan Pilkada 2011. Yuni ketika itu dijagokan, tapi Agus yang menang 50,6% (265.000-an suara). Yuni meraih 44,2% (231.000-an) suara. Ada selisih 34.000-an suara. Lima tahun lalu, praktek botoh dalam Pilkada Sragen sudah disorot. Nilainya, kata Budi Sragen, mencapai puluhan milyar. Operasi botoh disebut-sebut turut memenangkan Agus.

Budi Sragen mengaku sebagai calo botoh pendukung Amanto. Calo bermain di lapangan, kepanjangan tangan bandar, dan bertugas menantang tawaran calo kubu seberang. Sejak malam sebelumnya, Budi intensif bertukar pesan dengan calo lawan. Budi mengiyakan tawaran calo dari botoh pendukung Yuni. Calo pro-Yuni itu mau menemui Budi hari itu. Tapi hingga tengah hari tak ada kabar.

”Dia balik kanan. Tidak berani. Kalau botoh Amanto, berapa pun lawan mau jual, kami beli,” sesumbar Budi Sragen.

Hari-hari itu tengah gencar beredar kabar bahwa mayoritas botoh bertaruh mengunggulkan Yuni. Kabar itu bikin gerah pendukung Amanto.

Koordinator media center Amanto, Ikhwanushoffa, menyebut bahwa peredaran informasi itu sebagai gertakan untuk mendongkrak elektabilitas Yuni.

Dalam penelusuran relawan Amanto, kata Ikhwan, pelaku judi lapangan didatangkan secara sistematis dan disebar ke warung-warung untuk menebar efek psikologis bahwa Yuni-Deddy unggul dalam bursa taruhan. ”Operasi itu bisa efektif, karena banyak warga belum well-educated,” kata Ikhwan.

Dalam survei internal, kata Ikhwan, Amanto unggul 54%. Yuni hanya 29%. Selisihnya sampai 25%. Budi Sragen bilang, botoh bosnya, juga berani bertaruh angka selisih suara (ngepur, istilahnya). Amanto ditaksir bakal menang dengan selisih 10.000 suara, sepertiga dari selisih suara Pilkada 2011.

”Kalau pendukung Amanto tidak jawab taruhan dari lawan, masyarakat akan memilih yang menang (dalam bursa taruhan). Harus kita layani untuk menyelamatkan suara konstituen,” Budi menambahkan.

Ia menolak menyebut identitas botoh-nya. Ia hanya mengatakan bahwa botoh-nya orang Sragen dan pendukung Amanto.

Budi menjelaskan jika botoh siap menggelar operasi politik uang demi mendongkrak suara jagoannya. Bertaruh Rp 1 milyar, bila menang, botoh akan dapat Rp 2 milyar. Karena itu, ia siap berinvestasi Rp 500 juta lagi ditebar sebagai politik uang pada pemilih. ”Kalau botoh sudah M-M-an, nggak mau uangnya hilang,” kata Budi.

Nilai taruhan bervariasi. Untuk pilkada, lazimnya Rp 50 juta ke atas. Budi mendengar ada orang di Sukodono, Sragen, yang siap mempertaruhkan seisi rumahnya. ”Kalau berani, kami siap juga. Harga puluhan juta ada, ratusan juta ada, harga milyar juga ada. Kami siapkan bertaruh sampai Rp 1 milyar,” ujar Budi Sragen. Angka itu disiapkan untuk merespons botoh pengusung Yuni-Deddy.

Seorang botoh yang menjagokan Yuni mengklaim sebaliknya, bahwa botoh dan calo pendukung Amanto hanya melakukan gertak sambal. Ada pula botoh murni yang tidak berafiliasi ke calon  kepala daerah. Botoh ini sampai turun ke desa-desa menggelar survei mandiri dengan uang pribadi. Mereka tak mau dijumpai.

Wartawan Solopos di Sragen Tri Rahayu menyebut ada sekira 20 botoh yang bermain di Sragen. Botoh bisa berasal dari luar daerah, seperti Ngawi, Magelang, Blora, Cepu. Nilai taruhan Rp 10 juta sampai Rp 100 juta. Toh, mau afiliasi politik atau murni motif ekonomi, praktik botoh tak mudah ditemukan jejaknya. “Ini seperti kentut,” seloroh Tri.

Praktik judi juga diendus di beberapa daerah. Di DI Yogyakarta, ada tiga kabupaten yang menggelar pilkada: Sleman, Bantul, dan Gunungkidul. Daerah rentan judi pilkada, menurut sejumlah sumber, adalah Gunungkidul, karena kompetisi antarcalon amat ketat.  Polres dan Kodim di Gunungkidul pun menyatakan bersinergi mempersempit ruang gerak judi pilkada.

Di Bantul, peluang botoh bermain amat kecil. Pasalnya, hanya diikuti dua pasangan dan calon petahana, Sri Suryawidati, istri Idham Samawi, mantan bupati lama, ditaksir masih sangat kuat melawan pensiunan polisi Suharsono—meski hasilnya sebaliknya dan mengejutkan banyak pihak.

Sleman juga hanya diikuti dua pasangan. Bupati petahana, Sri Purnomo, ditaksir masih unggul jauh di atas bekas wakil bupatinya, Yuni Satya Rahayu, dan hasilnya pun demikian.

Adapun Gunungkidul diikuti empat pasangan calon. Duet petahana, Badingah dan Immawan Wahyudi memang diprediksi masih unggul, tapi tiga pasangan lain tak bisa dipandang enteng. Ada potensi kejutan.

”Kondisi seperti ini, botoh bisa masuk dan berperan. Politik uang akan kuat. Akan ada serangan fajar,” kata Budi Utama, mantan Ketua PDIP Gunungkidul.

Dalam pengalaman Budi pada pemilihan presiden lalu, praktik judi terjadi. Seorang bandar yang siap bertaruh untuk Prabowo Rp 100 juta, sementara lawan boleh bertaruh dengan nominal lebih kecil. Sebagai pengusung Jokowi, Budi menyanggupi hingga ia menyiapkan Rp 10 juta.

Nilai taruhan itu terus meningkat, dari Rp 200 juta, Rp 500 juta sampai berhenti Rp 2 miliar. Budi menyiapkan Rp 500 juta. Sementara lingkup taruhan justru menurun dari skala nasional sampai di tingkat Gunungkidul. “Saya berani siapin, sampai print rekening saya. Tapi orangnya nggak pernah muncul.”

Kasus itu pengalaman dengan angka besar. Nominal kecil lebih sering, misalnya atas nama “syukuran” ada simpatisan yang bertaruh Rp 10 juta. “Komunikasi dan sinyal taruhan ada tapi ndak sampai transaksi. Selentingan sampai puluhan M (miliar). Tapi saya belum alami sendiri.”

Hasil pilkada di Sleman dan Gunungkidul sesuai perkiraan: petahana menang. Bantul mengejutkan, rejim Idham Samawi harus tumbang.

***

Salah satu nama yang disebut sebagai botoh dalam pilkada adalah Yulianto, anggota DPRD Blora. Ia dikenal dengan panggilan Bostong. Di telepon, ketika diajak bertemu, ia mengiyakan.

Awal Desember itu ada agenda sidang paripurna DPRD Blora jam 13.00.  Selepas azan Duhur, Bostong sedang bercanda dengan anggota dewan di ruang Komisi B. Ada tujuh orang di ruang itu. Bostong duduk di tengah mengenakan kemeja putih dan celana hitam.

“Kalau tanya (tentang pilkada) jangan ke saya. Saya ini beda aliran,” ujar dia sambil tersenyum tipis. Koleganya menyahut: “Kalau yang lain bumi, dia itu aliran langit.”  Anggota Komisi B terbahak-bahak.  Saya tidak tahu maksudnya.

Saya singgung soal headline Radar Kudus hari itu, “Bermain Rapi, Susah Terlacak”. Berita ini tentang praktik botoh di Blora yang menyebut seorang botoh anonim menyiapkan Rp 5 miliar. Bostong mulai mengalihkan pandangan. “Ndak, ndak.”

Orang-orang di ruangan tidak ada lagi yang tertawa dan seperti pura-pura sibuk seperti buka-buka HP dan baca koran.

Saya langsung menyampaikan maksud saya untuk mengklarifikasi tudingan pada Bostong bahwa ia salah satu botoh di Blora.

Dengan perut buncit, sikap kikuk, dan air muka agak berubah, ia mengambil tas kecil selempangnya, lalu ngeloyor ke luar dariruang Komisi B sambil terdiam. “Ndak, ndak,’ ia mengulang-ulang sambil melambaikan tangan.

Ia pindah ke ruang belakang ruang pimpinan dewan. Seorang pelayan yang hendak masuk mengantar minum dimintanya pergi.

Sekitar 10 menit sebuah mobil Kijang merah marun mendekat ruangan itu. Bostong tiba-tiba keluar dan meloncat ke dalam mobil yang melaju meninggalkan kompleks Gedung DPRD Blora.

Saya berkenalan dengan Suyatmo. Ia mengaku sebagai wartawan lokal Lentera Kota—koran yang dibikinnya bersama 6-7 teman–yang ngepos di Gedung DPRD.

“Perutnya kan besar, kayak tong. Dan dia memang bos, anak buah banyak dan punya usaha mebel dan kuningan,” kata Suyatmo tentang Bostong sambil terkekeh.

Bostong disebut berasal dari Yuwono, Pati, dan kini tinggal dan punya usaha di Keser, Tunjungan, Blora. Dalam beberapa pilkada, Bostong disebut beroperasi di Wonosobo, Purworejo, dan Banjarnegara. Nilai botohan sampa Rp5-6 miliar.

Periode ini masa kedua jabatan Bostong di DPRD. Sebelumnya dia duduk di DPRD melalui Partai Penegak Demokrasi. Ia menang di dapilnya dengan 4000-5000 suara. Pada periode pertama sebagai DPRD, ia disebut beroperasi sebagai botoh dengan dua anggota dewan lain.

Untuk pilkada kali ini, tidak diketahui operasi Bostong. Yang jelas, untuk pilkada Blora, sesuai dukungan partainya, Nasdem, ia mendukung pasangan bupati petahana Djoko Nugroho, alias Kokok, dan Arief Rohman. Pilkada Blora diikuti tiga pasangan.

Calon wakil bupati, Arief Rohman, menampik adanya botoh yang menjadi bagian tim kampanyenya. Kokok-Arief diusung PKB, Hanura, dan Nasdem.

“Bostong tidak masuk tim inti kampanye, hanya koordinator kecamatan. Kalau betul dia botoh, itu kerja-kerja personal di luar koridor partai. Kalau main pure untuk diri dan grupnya, tidak ada koordinasi secara organisasi,” kata Arief.

Divisi Penindakan dan Penanganan Sengketa Panwaslu Blora Ninik Idhayanti bilang kenal Bostong sebagai anggota DPRD sekaligus pengusaha kayu dan gas, tapi tak tahu jika ia disebut sebagai botoh.  “Blora terindikasi ada botoh tapi tidak pernah ada laporan tentang botoh,” ujar dia.

Sama halnya di Blora, beberapa daerah di Jawa Tengah juga terindikasi praktik judi pilkada. Radar Kudus melaporkan fenomena ini berlangung di Grobogan, Suara Merdeka menyebut di Rembang.

Humas Polres Rembang, Iptu Haryanto, menyatakan belum menemukan kasus judi pilkada di Rembang. ”Kalau ada bandar, pasti kita tangkap. Setiap hari kami patroli dan ada anggota melekat ke pasangan calon,” tutur dia ketika disambangi di kantornya.

Koordinator Divisi Penindakan dan Penanganan Pelanggaran Pemilu Panwaslu Sragen Heru Cahyono juga senada. “Kalau ada itu murni judi, tidak sentuh pilkada jadi bukan ranah kami. Kami mendengar (tentang botoh) dari komunitas tapi tidak ada kepentingan langsung dengan pilkada.  Itu hanya psywar atau motivasinya hanya uang, tidak ada kaitan langsung dengan paslon. Kalau pun ada botoh, itu datangd ari luar daerah seperti Solo, Demak, Grobogan.”

Divisi Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Jawa Tengah, Teguh Purnomo mengatakan, praktek botoh pilkada sangat terbuka. ”Potensinya ada, mata telinga pengawas saja yang terbatas,” katanya.

”Ini tidak semata-mata hobi, tapi bisa jadi upaya tim pemenangan untuk memperngaruhi. Bukan tindak pidana murni, tapi politik. Ini warning untuk kami. Harus disiapkan, apakah dengan pasal dari UU 8/2015 bisa atau pakai pasal 303 KUHP tentang perjudian.”

***

Di sebuah resto, persis di seberang kantor KPU Sragen, saya kembali menemui Budi Sragen, satu hari sebelum pilkada. Sambil menyantap makan siang bandeng presto dan es beras kencur, ponsel Budi tak henti-henti berdering. Semua berkaitan dengan botohan pilkada.

Ia bercerita, malam minggu lalu ia naik sepeda motor menuju salah satu peserta pilkada Sragen sambil menenteng Rp 40 juta. Pendukung lawan siap bertaruh Rp 200 juta, namun akan melayani berapapun dana Budi.

Sampai di sana, seorang botoh minta disiapkan rekening bersama untuk mengumpulkan uang taruhan. Budi menolak. “Semua model botohan mereka minta di rekening padahal itu rawan sebagai bahan laporan.”

Menurut Budi, mudah saja pihak lawan melaporkan aksi taruhan itu ke pengawas sambil mengorbankan kawan sendiri yang terlibat. Preseden seperti ini terjadi ketika pilkada 2011. Lantaran itu, Budi emoh pakai model buka rekening.

Dalam perjalanan Sabtu malam  itupun tawaran beberapa botohan terus mengalir. Ini terjadi hingga satu hari sebelum pilkada. Siang itu, disepakati Rp 100 juta dipertaruhkan melalui pihak ketiga seorang pengacara. Nyaris 24 jam kemudian melalui hitung cepat di televisi, saya menyaksikan jago Budi kalah.

Tinggalkan komentar