terdampar di pulau bengkoang

IMG_0750 - Copy

Tak ada masa berpantang dalam memancing. Itu kredo Muhammad Fahmi dan Setyo Adjie Koemoro ketika berburu ikan di perairan Karimunjawa, Jumat 24 Oktober lalu, persis jelang malam satu Suro. “September-Oktober bulan bagus,” yakin Fahmi alias Amik, 30 tahun. Ia koordinator Kaipang Fishing Community, Semarang, yang menaungi 200-an anggota sejak terbentuk pada 2010.

Sementara sejak pertama ketemu, Setyo, 50 tahun , kalem saja. Karena usia dan pengalamannya, penasehat sejumlah komunitas mancing di Jawa Tengah seperti Baramundi Fishing Community dan Karang Fishing Community ini dipanggil Pakde, Pakde Oi tepatnya.

Baru satu jam tiba di dermaga Karimunjawa dengan kapal cepat Express Bahari 2C dari pelabuhan Jepara, tengah hari itu, keduanya sudah menjemput dan mengantar kami—saya dan fotografer Eva Agriana Ali–ke spot mancing pertama.

Berbekal empat joran, dan satu ransel besar yang memuat segala perlengkapan, kami bertolak ke Pulau Kemujan. Antara Karimunjawa dan Kemujan hanya dihubungkan jembatan kecil di antara belantara mangrove sehingga keduanya dianggap pulau terpisah.

Lokasi mancing ini berada di sisi barat Bandara Dewadaru, persis di dermaga kecil yang dilingkupi pepohonan bakau. Jaraknya 22 kilometer dari pelabuhan Karimunjawa. Dermaga ini biasa digunakan untuk menjemput tamu Kura-kura Resort.

Resort eksklusif di Pulau Kura-kura itu dimiliki warga negara Jerman—versi lain menyebut orang Italia. Tamu mereka kebanyakan orang asing. Begitu turun dari pesawat di bandara, mereka dijemput dengan speedboat di dermaga kecil ini.

Dalam brosur terbarunya, Pemkab Jepara menyebutkan Taman Nasional Karimunjawa melingkupi gugusan 27 pulau dengan lima pulau berpenghuni.
Perairannya menjadi habitat 242 jenis ikan hiasdan 90 jenis karang keras. Potensi wisatanya, masih menurut pemda, berlayar, snorkeling, wreck diving, berjemur di pantai, hingga penangkaran hiu. Tak ada fishing.

Di dermaga itu, air permukaan jernih. Ikan-ikan kecil dan sebagian karang unjuk diri. Meski tampak tenang, air di lokasi membentuk arus sehingga jadi tempat kumpul ikan. “Ini spot fishing favorit,” kata Amik, pemuda pesisir Rembang yang mancing sejak bocah dan kini minimal 6 bulan sekali mancing di Karimunjawa.

Pakde Oi langsung menyiapkan senjata andalannya: 50-an variasi umpan artificial yang berbentuk tiruan ikan. “Ini handmade spesial, berbeda dari toko-toko,” ujar dia setengah berpromosi karena memang barang itulah yang turut menopang hidup bapak dua anak, eks staf diskotik, ini.

Umpan buatan Pakde memang beda. Jika produk toko terbuat dari plastik dengan hanya satu bagian yang kaku, garapan Oi berbahan kayu dan terdiri tiga bagian yang dihubungkan kawat di dalamnya. Alhasil, umpan tiruan ini persis ikan yang luwes di dalam air.

Umpan jenis ini digunakan untuk mengecoh ikan predator. Ikan bergigi tajam ini mayoritas hidup di permukaan hingga tengah-dalam perairan. Jenis ini menyebar dari Karimunjawa hingga pesisir Pantura. Amik menyebut target tangkapan kali ini ikan barracuda, baby GT, dan mangrove jack. Potensi lain spot ini adalah kerapu, pari, dan jenaha.

Sesi ini termasuk landbase fishing, memancing dari tepi daratan. Cukup menggunakan teknik casting, alias melempar pancing sejauh mungkin dan kemudian menggulungnya dengan cepat. Tak ada teknik khusus, kata Pakde Oi, dan hanya kebiasaan. “Tips simpelnya, jangan melawan angin,” kata dia yang meski tampak enjoy namun sanggup melempar kail hingga 20-30 meter.

Lemparan saya, dengan pengalaman dan pengetahuan nol soal mancing, hanya sampai di kisaran 6-8 meter. Dengan latihan berulang, lemparan kail bisa makin jauh. “Kalau gak terbiasa, teknik casting memang bikin bosen,” komentar Amik yang biasa memancing secara kidal—melempar dan memegang joran dari tangan kiri dan reel diatur pada posisi kanan.

Selama lebih dari tiga jam, beberapa kali kecipak terdengar di dekat umpan. Setelah itu pula, benang pancing—merupakan sambungan bahan monofilamen dan PE–menegang. Tapi sayang semua akhirnya lepas. Umpan Amik terlihat beberapa kali kena bekas gigitan dan sayatan—tanda ikan sudah kena umpan. Tapi Pakde malah sial: dua kali benang pancingnya ruwet dan harus diputus.

Kami tak hendak percaya pada mitos. Tapi saya merasa kami memang sial. “Mancing itu bukan persoalan dapat ikan atau tidak tapi prosesnya. Pemancing Indonesia masih mengejar hasil, beda dengan luar negeri, setelah dapat ikan justru dilepas,” kata Pakde Oi, tanpa bermaksud menghibur, sambil tersenyum bijak. Toh kami sudah dapat hiburan: sunset Karimunjawa yang hangat dan sangat berharga sebagai latar selfie.

+++

Angin berembus kencang dini hari itu. Persis 10 menit sebelum jam 1 dinihari, Sabtu 25 Oktober, kami meninggalkan dermaga Karimunjawa, untuk sesi memancing kedua di beberapa spot lepas pantai.

Kami menumpang Hasil Samodra, longboat milik nelayan setempat, Nurul Huda, 46 tahun. Bentuk perahu Karimunjawa ramping, panjang, dan lancip, tanpa dek. “Untuk memecah gelombang besar,” kata Huda, bapak tiga anak.

Kami, empat penumpang, duduk di bagian atas yang terbuka. Bagian bawah hanya untuk tempat mesin, bekal, dan hasil tangkapan—orang bisa duduk atau jongkok di sini. Daya tampung nya maksimal 5 ton. Huda berdiri di belakang bersama Rofiin, petugas mesin, sedangkan Heru, penanggungjawab jangkar siaga di haluan. Dalam sehari melaut untuk jarak maksimal 25 mil kapal ini butuh 35 liter solar.

Kapal bergerak 7-8 knot ke arah barat laut. Gelap total karena lampu kapal dimatikan agar amatan Huda tak terganggu. Hampir dua mil jalan, kami harus balik arah. Umpan berupa potongan-potongan ikan ketinggalan. Ah, pikir saya, ini pasti kebetulan saja.

Huda bilang terbiasa mendapat ikan dari memanen bubu 3 hari sekali. Hasilnya: kakap merah, tengiri, kerapu, dan tongkol. “Ikan sudah banyak berkurang karena terumbu karang rusak dan pemakaian potasium meski sudah dilarang,” kata Huda, tamatan SMP, yang melaut sejak usia 9 tahun.

Malam itu Hasil Samodra tampak sendiri. Hanya berteman rasi Luku dan bintang-bintang yang terlihat jernih. Tak ada nelayan melaut sejak malam tadi. “Ini lagi kenceng-kencengnya,” kata dia enteng. Saya kira maksud Huda adalah soal angin atau gelombang, ternyata setelah tanya, ia jawab pelan: “Barang alus (makhluk halus).”

Meski sempat menambahkan bahwa banyak nelayan tak lagi percaya mitos-mitos demikian, saya merasa penjelasannya telanjur berlalu dibawa angin. Ya, angin juga mulai kencang. Padahal Huda bilang bulan-bulan ini termasuk masa tenang. Angin dan ombak besar baru datang bulan depan.

Tapi alam memang punya kejutannya sendiri. Dalam lajunya, kapal bergoyang tak terhitung berapa kali. Entah saya yang terlalu kaget hingga merasa durhaka sebagai warga negeri bahari, atau memang gelombang begitu beringas, empasan ombak pagi itu masuk level ekstrim.

Beberapa kali kapal terempas hingga lebih dari, dalam taksiran saya, 45 derajat. Air tempias ke dalam perahu. Barang-barang bolak balik melorot ke satu sisi. “Wah, ini belum sampai bikin kapal kebalik, Mas,” celetuk Huda ringan saja.

Eva, Amik, dan Pakde Oi yang sepanjang perjalanan tadi berbaring—tidur-tidur ayam, kata mereka–mulai bangun. Eva harus menenggak dramamine—obat antimabok yang lebih kuat daripada antimo—pemberian Pakde demi menghindari mabok lautnya yang akut.

Dalam sekejap, ia kembali terlelap. Amik yang menenggak sebutir toh tetap terjaga. “Saya pernah minum dua, lidah langsung kaku gak bisa ngomong,” Pakde masih bisa berkelakar. Saya mesem saja, sambil memegang koyo yang tertempel di tengkuk—ini senjata saya menangkal masuk angin–seakan bisa lepas tertiup angin pagi itu.

Pakde bersama Amik mulai menyiapkan alat pancing. Mereka berjaga di masing-masing sisi kapal. Frekuensi guncangan makin kerap dan keras begitu kapal melempar jangkar sekitar pukul empat.

Melalui GPS Huda, serta pengalaman Amik, di situlah terumbu karang yang menjadi spot ikan. Amin merencanakan untuk spot berikutnya berupa lokasi rumpon dan kapal karam.

Tekniknya kali ini cukup bottom fishing, memancing secara statis dengan umpan yang diberi pemberat dan dijatuhkan ke dasar air sambil menanti ikan mencaplok umpan. Potongan ikan tongkol disiapkan sebagai umpan. Satu pancing dipasang dua umpan Hingga satu jam, Beberapa kali pancing Pakde dan Amik tersentak namun belum ada hasil.

Ombak dan angin belum berhenti mempermainkan kami. Kapal terus terombang-ambing. Eva terbangun, sempat menyiapkan kamera Canon 7D-nya, tapi empasan membuat ia harus menjulurkan kepala ke luar perahu untuk memuntahkan isi perutnya.

Saya nyaris tak bisa menahan. Kepada Pakde Oi, akhirnya saya minta sebutir dramamine dan efeknya langsung bekerja 10 menit kemudian. Kantuk luar biasa datang. Kapal masih terayun-ayun dengan tajam. Amik dan Pakde tetap siaga di posisinya. Jelang subuh dan hari masih gelap. Mata saya tambah berat…

+++

Amik dan Pakde Oi menjadi panglima perang dalam misi memancing di Karimunjawa. Sepanjang perjalanan kemarin tak banyak teknik yang mereka bawakan.Cuma casting, yakni teknik melempar kail sejauh mungkin; dan bottom fishing yaitu memancing dengan mengulur sejauh mungkin kail ke dasar laut.

Saat bottom fishing itu, Amik dan Pakde menggunakan pemberat atau bandul besi. Namun ia tak terlihat memainkan teknik jiggling yakni menggulung, sambil menyentak pancing. “Jiggling biasanya digunakan untuk laut berarus kuat seperti di Pulau Komodo dan Papua,” kata Oi.

Umpan lure garapan Pakde Oi dianggap cukup menarik perhatian ikan di perairan Karimunjawa. Maka ia merasa tak perlu melaukan popping. Teknik ini menggunakan popper, umpan dengan ujung mangkok yang ditarik dan disendat hingga mengeluarkan bunyi pop-pop-pop.

Pakde Oi bahkan menguasai teknik fly fishing. Teknik ini masih jarang digunakan di Indonesia namun telah populer di Amerika Serikat. Dengan umpan hewan hidup macam serangga dan belalang, fly fishing butuh joran sepanjang 4 meter dengan rel di posisi pangkal. “Tempat mancingnya harus benar-benar terbuka,” kata Oi.

Lokasi favorit, juga spot pertama kali yang membuat Oi jatuh cinta pada mancing,adalah perairan Binuangeun, melewati Serang Timur, Malingping, dan Saketi, di Jawa Barat. “Istimewanya di sana masih banyak ikan-ikan besar. Semua teknik bisa dipakai. Sudah gak sehebat dulu tapi masih bagus,” kata Pakde.

Belakangan, ia tertarik dengan Sea Mount Reef, Selat Sunda yang lagi rame-ramenya. “kalau pas musim bisa dapat ikan escolar atau ikan setan yang hidup di kedalaman 200 meter ke bawah,” ujarnya.

Untuk perlengkapan, mereka menggunakan alat standar. Toh, kata Pakde Oi, alat pancing bisa lebih mahal ketimbang peralatan golf yang dianggap olahraga termahal. Jika kata dia satu set golf seharga Rp 50 juta, satu rel pancing saja, merek Finor Tycoon dari Amerika Serikat bisa mencapai Rp 40 juta. Harga joran dan rel minimal Rp 1 juta.

+++

Matahari sudah menjauh dari ufuk begitu mata saya terbuka. Hari terang. Jam enam lewat. Eva masih terkapar. Pakde Oi tetap cool dan Amik terlihat mesem-mesem. Huda beserta kru tetap di posnya. Angin terasa segar. Gelombang tak lagi besar.

Sial, saya kehilangan momennya: setengah ember besar sudah berisi tangkapan. Mayoritas ikan tongkol, kuniran, dan kokot. Amik berhasil memancing seekor kokot 300 gram. Namun rekor milik Pakde: seekor ikan kaci (Plectorchinchus lavomaculatus) selebar nyaris dua telapak tangan orang dewasa dengan bobot 1,5 kilogram. Total tangkapan sekitar 10 kilogram. Lumayan.

Setelah menanti lebih dari satu jam tanpa hasil lagi, Amik memutuskan pindah spot ikan yang lain sejauh 2 mil. Di perjalanan yang sudah mulai landai, Eva terbangun dengan muka pucat. Isi perutnya kembali tumpah.

Amik pun mengubah rencana. Ia minta Huda berlabuh di Pulau Bengkoang. Di antara gugus pulau di Karimunjawa, Bengkoang termasuk pulau besar. Posisinya paling utara dan bukan jadi bagian rute dan tujuan wisata yang lazim di Karimunjawa. Jarak dari dermaga Karimunjawa 9,5 mil , tapi kurang dari 2 mil dari posisi terakhir kami.

Perjalanan ke Pulau Bengkoang tersendat karena harus mengitari dan menghindari karang. Huda piawai dalam membawa perahunya bermanuver. “Dulu gampang sekali menemukan bengkoang di pulau ini,”kata Huda tentang asal usul nama pulau.

IMG_0666 - Copy

Disebut sudah milik pribadi, pulau ini tanpa penghuni. Di perairan ini konon ada hiu dan pernah tertangkap seekor ikan marlin berbobot 50 kilogram. Pada lomba mancing 2012, seorang peserta asal Kudus menang dengan marlin 32,5 kilogram.

Pagi itu kami puas menyantap ikan kokot dan tongkol. Yang jadi kebiasaan dan keunikan warga setempat, ikan diolah dengan diasapi di atas kayu bakar. Ditemani nasi dan sambal kecap yang sudah disiapkan—oseng kacang dibiarkan nganggur—plus air kelapa muda petikan Rofiin, kami kekenyangan ikan asap pagi itu. Eva kembali segar.

Sekitar 1,5 jam kami “terdampar” di Pulau bengkoang dan meneruskan ke spot berikutnya pada jam 8.30. Perjalanan ke arah selatan itu lancar. Hari cerah. Ombak tenang meski empasan masih terasa kuat dalam interval panjang.

Pada satu titik 1,5 mil dari Bengkoang, jangkar yang dilempar membentur karang. Salah satu tangkainya patah sehingga tak seimbang. Ketika dilempar lagi, jangkar larat, bergeser ikut arus. Kapal pun gagal bersauh.

Setidaknya empat kali usaha di spot berbeda di kawasan perairan itu berujung sama. Jangkar larat berkali-kali. Kalau sudah begitu kapal harus mencari spot ikan baru. Sebab mengulang di spot yang sama akan sia-sia; ikan sudah bubar.

“Padahal Pak Huda nelayan bagus, dia bisa persis berhenti di atas spot ikan. Nelayan lain kebanyakan tidak pas,” puji Pakde Oi yang berencana menjadikan Huda sebagai mitra dalam lomba mancing Bupati Karimunjawa Cup, 15-16 November ini.

Rencana bersauh di atas rumpon dan kapal karam pun lepas. Akhirnya Amik mengajak ke spot yang masih satu kawasan dengan dermaga kecil milik Kura-kura Resort, lokasi mancing kami kemarin. Ini spot dengan rute alternatif sehingga dalam perjalanan kami sempat terjebak di antara labirin tali kapling-kapling rumput laut.

Setelah zig-zag beberapa kali, perahu tiba di tujuan. Spot dikelilingi rimbun pohon bakau. Dermaga kecil kami kemarin tampak ratusan meter di depan. Namun ada yang berbeda: perairan di kawasan ini terlihat hijau pekat. Keruh. Ini berbeda dari kemarin ketika air begitu jernih dan transparan hingga sejumlah bongkah karang dan ikan nampak. “Ini karena ombak semalam. Lumpur di dasar jadi naik,” kata Amik.

Alhasil, jangankan ikan, karang-karang kecil yang biasanya nongol sama sekali hilang. Tak terhitung Amik dan Pakde Oi melakukan casting. Tapi hasilnya nihil. Waktu dan bahan bakar kapal akhirnya yang memutuskan batas akhir adu keberutungan kami dengan alam kala itu.

Sekitar 13.30 kami meninggalkan lokasi tersebut. Mengingat perjalanan dan hasil debut mancing di laut lepas semalaman itu, saya tetap tak percaya ini ada kaitannya dengan mitos Satu Suro.

Barangkali cuma kebetulan–istilah paling gampang kita untuk menyebut konspirasi alam.
Mungkin juga ini nasib apes seorang pemancing pemula, warga negeri maritim yang sudah kelewat asing dengan lautnya sendiri sehingga laut perlu memberi perkenalan khusus dan didikan lebih keras.

Kami sampai di dermaga ketika terdengar seru azan Asar. Cuaca cerah. Para turis baru berangkat berwisata ke laut Karimunjawa—snorkeling, ke penangkaran hiu, dll, seperti brosur pemda itu–penuh tawa dan tampak begitu bahagia menyambut samudra.
Perut saya malah mual dan sakit pada lubang gigi saya kembali kumat.

IMG_0594 - Copy

Tinggalkan komentar