tenggelamnya kampung tambakrejo

IMG_20171229_141610.jpg

Atap rumah Alfiah, 45 tahun, hampir bisa digapai dengan tangan. Meteran listrik yang biasanya terletak di atas kepala, kini cuma setinggi pinggang. Padahal, Alfiah mengaku hampir tiap lima tahun sekali meninggikan rumahnya hingga satu meter. Terakhir kali, rumah mungil berlantai keramik itu dirombak pada medio 2016. Maka ruangan rumah pun jadi berjenjang.

Ruang tamunya lebih rendah setengah meter daripada ruang tengah. Alfiah hanya menyediakan dua kursi sederhana saja di sana. Ia lebih se ring menerima tamu dengan lesehan atau du duk saja di lantai, Jumat terakhir Desember 2017.

Sengaja tidak saya isi apa­apa, biar mudah… ngosek (membersihkan air sisa ban jir) hampir tiap hari, ujar ibu dua anak ini. Kediaman Alfiah di Kampung Tam  bakejo, Kelurahan Tanjungmas, Ke camatan Semarang Utara, Kota Semarang, memang langganan banjir.

Kampung ini adalah wilayah RW 16 dari ka wasan yang disebut Tambaklorok itu. Pemda berniat menjadikan kawasan ini kam pung bahari­­yang telah ditandai sebuah tugu dan patung ikan di jalan masuk kampung.

Namun rob dan abrasi masih jadi masalah. Setiap terjadi rob atau pasang air laut, kebanyakan rumah di Tambakrejo kebanjiran. Ketika hujan dan angin kencang melanda banyak daerah di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, November silam, kawasan itu juga kena dampaknya. Air meluap dan masuk ke rumah hingga sebetis atau sekitar 40 sentimeter.

Kalau rob, mau musim hujan atau tidak, air pasti masuk. Tapi kalau banjir karena hujan sekarang tidak bisa diprediksi, kata Alfiah.

Terjangan banjir dan abrasi sudah menjadi momok bagi masyarakat yang se ba gai besar berprofesi sebagai nelayan itu. Sebagian warga sudah kapok dan meninggalkan tempat tinggalnya begitu saja. Kegiatan ekonomi warga pun meredup.

Keluarga Alfiah termasuk yang masih bertahan. Ia dan suaminya, seorang karyawan swasta, membeli rumah dari tetangga sekampung dan menempati rumah itu sejak 2000. Saat itu, tinggi rumah mencapai dua meter di atas jalan hingga permukaan tanah terus­menerus turun karena diterjang rob dan abrasi.

Untuk mengatasinya, Alfiah mengaku telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, mencapai Rp 28 juta pada 2016. Sambil menghitung dengan jarinya, Alfiah menyebut setidaknya ada 12 keluarga yang sudah meninggalkan kampung. ‘’Rumah ditinggal gitu aja. Dijual apa payu (laku),’’ katanya.

Rumahnya sendiri pernah ditawar Rp 100 juta, tapi Alfiah menolak. Ia memilih menunggu tawaran pembelian dari pemerintah daerah. Ia mendengar kawasan itu akan ter kena proyek Kampung Bahari dan Kanal Banjir Timur.

Skenario lain, ia sudah membeli rumah di kawasan dataran tinggi Ungaran, Kabupaten Semarang, sebagai solusi jika sewaktu­waktu terpaksa pindah. Tapi ‘’Kami masih di sini (belum pindah) karena dekat sama kantor suami dan sekolah anak,’’ kata mantan pengurus PAUD dan rumah pintar di Tambakrejo itu.

Rumah Alfiah berada di pangkal lajur jalan yang lurus menjorok ke laut. Di kampung itu ada dua lajur semacam itu dengan permukiman padat di kiri­kanannya. Sejumlah rumah yang tampak dengan bangunan baru berada tinggi dari jalan. Sebagian lain rumah dalam proses pembangunan dengan material rumah bertumpuk di depan rumah.

Meski begitu, pemandangan rumah­rumah lawas dengan bangunan rendah yang atap rumahnya kini hanya setinggi dada, menghiasi kawasan di sekitar kediaman Alfiah. Bahkan ada rumah yang terkubur hingga separuh tinggi bangunan.

Di kampung sebelah, Tambakmulyo, kondisi tak jauh beda. Jalan kampung bahkan rusak berlubang. Data Bappeda Kota Semarang menyebut, abrasi laut pada 2005­2009 sudah menggerus lahan tambak sejauh 652,7 meter. Laju penurunan muka tanah juga ter bilang cepat, sebesar 20 sentimeter per tahun.

Langkah gencar menanam mangrove pun dilakukan demi menahan laju abrasi. Di depan rumah Alfiah, misalnya, di sisi timur lajur jalan kampung itu, berderet tanaman mangrove yang disebut mampu mengurangi abrasi Kampung Tambakrejo. Alfiah ingat, penanaman mangrove dimulai sekitar 2011.

Awalawalnya susah karena hama ulat. Sekarang lebih gampang, paling ngusir­ngusir kambing saja kalau ada yang masuk ke sana,’’ tuturnya sambil menunjuk rimbun mangrove di depan rumahnya.

Di antara pepohonan warga juga membuat tambak. Benih ikan ban deng dan mujair disebar di sana. Di sisi ujung timur juga terdapat satu lajur jalan konblok yang di sisinya ditanami mangrove. Namun, sekira 100 meter, jalan selebar satu mobil ini tak bisa di lalui. Konblok berhamburan. Sampah plastik pun berserakan di situ. Akses pun terputus. Kondisi ini disebut karena hujan badai November lalu.

Sebelumnya, pada akhir 2015, ketika saya menelusuri jalur ini, ujung jalur ini berupa tanah berlumpur karena terus dihajar rob. Ketika itu, bibit mangrove juga te lah ditanami di sana. Nisan­nisan di sebuah pemakaman juga terlihat tak lagi beraturan.

Di ujung kawasan itu berdiri bangunan dengan aksen merah dalam kondisi terbengkalai. Dulu, dibangun Pertamina sebagai tempat pelelangan ikan dan pom bensin nelayan. Kini, bangunan itu tak lagi digunakan. Orang yang menyambangi kawasan itu aktivitasnya hanya memancing. Itu pun mereka harus berhati­hati agar tak terjerumus ke dalam genangan lumpur.

Ketua RW 16, Slamet Riyadi, mengakui kerusakan jalur mangrove akibat hujan badai itu. Ia juga belum mengecek kondisi terakhir batang­batang mangrove muda di sana. Jangankan pohon, jalan aja morat­marit, kata dia.

Kondisi terparah diakuinya ada di sekitar pemakaman yang lebarnya sekitar 10 ­ 20 meter dengan panjang jalur sekitar 100 meter. Dulu, kampung di sekitarnya dengan luas 200­an meter sudah hilang dalam lima tahun terakhir. Hilangnya bertahap. Satu meter­satu meter gitu,’’ ia menambahkan.

Maka, tak mengherankan jika kawasan lainnya sekitar Desa Tambakrejo ikut tenggelam di kemudian hari. Pasalnya, baik Alfiah maupun Slamet ragu jika mangrove berkontribusi efektif terhadap upaya penyelamatan desa mereka. Bagi keduanya, harus ada upaya lain yang lebih efektif, misalnya membangun tanggul. ‘’Sebagian sudah dimulai dengan menanggul kali yang sudah mati,’’ kata Slamet.

Tapi ada tanggapan berbeda yang muncul dari Lurah Tanjungmas Margo Haryadi. Ia tetap yakin pada skenario memanfaatkan mangrove untuk mengurangi abrasi Tambakrejo. Tumbuhnya mangrove di sana, menurut dia, sesuai dengan kondisi dan habitat yang harus berair. Ada pengaruhnya mengurangi rob,’’ kata dia.

Tambakrejo saat ini sudah tidak lagi terdampak banjir dari kawasan atas atau selatan Semarang seiring proyek Kanal Banjir Timur. Namun untuk rob atau pasang air laut masih jadi ancaman. Soal nya, rumah warga langsung berhadapan dengan tambak­tambak yang terhubung ke laut,’’ kata dia.

Nah, di lokasi inilah, penanaman mangrove dipusatkan. Ia memperkirakan luas mangrove telah men capai luasan lapangan sepakbola. Alhasil genangan rob tak meluas dan kini hanya tinggal 1­2 rumah yang terkena dampaknya. ‘’Mangrove menahan gelombang. Bisa mengurangi (dampak) ketika terjadi peninggian ombak, katanya.

Selain menanam dan akan memperluas mangrove, untuk mengurangi dampak rob, Pemerintah Kota Semarang juga telah memperbaiki dan meninggikan jalan kampung. Apalagi keberadaan mangrove di Tambakrejo sesuai dengan rencana pemkot mengembangkan kawasan itu. ‘’Hutan mangrove dapat menopang kampung dan wisata bahari,’’ katanya.

Saat ini, sedang diupayakan merawat­­istilahnya menyulam­­tanaman mangrove yang rusak, layu, dan mati. Kondisi ini terjadi juga tak lepas lantaran hujan badai, akhir November silam. Namun untuk kontribusi mangrove terhadap luas lahan Tambakrejo yang terselamatkan, Margo tak bisa memastikan.

Tinggalkan komentar