kesurupan dan ajaran agama yang menakutkan

Ilutrasi dari ‘Mencari Solusi’ karya Ostheo Andre di pameran Representasi #3 di Pendhapa Art Space, Yogyakarta, 2019.

Riset doktoral di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada mengungkap penyebab gangguan kesurupan secara ilmiah. Kondisi itu ternyata turut dipengaruhi keyakinan agama yang diajarkan dengan penuh rasa takut.

Temuan itu tertuang dalam disertasi ‘Konstruksi Keyakinan Agama Personal pada Individu yang Pernah Mengalami Gangguan Kesurupan’ karya Siswanto. Riset ini tak lepas dari aktivitas terapi psikologi yang dilakoninya sejak 2004 dan mengantarkan ia sebagai doktor di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, April 2020 lalu.

“Keyakinan agama indikasikan punya kaitan dengan gangguan kesurupan. Keyakinan agama yang diwarnai rasa takut dan rasa takut yang tak bisa dikontrol (membuat) risiko kesurupannya lebih tinggi,” tutur dosen psikologi di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, ini.

Selama lima tahun terakhir, Siswato meneliti lima partisipan melalui metode wawancara dan tes. Tiga partisipan yang berbeda agama pernah mengalami kesurupan, sedangkan dua partisipan lain tidak pernah kesurupan tapi punya keyakinan agama kuat.

Dalam risetnya, Siswanto menjelaskan, selain kekhasan tiap partisipan, didapatkan pola yang sama yakni berkaitan dengan proses konstruksi sampai pemantapan keyakinan agama.

Menurutya, pola-pola itu antara lain kebiasaan/ritual, suasana keluarga, proses transmisi keyakinan agama, perasaan yang menyertai keyakinan agama pada masa kanak-kanak, cara bereaksi, keyakinan agama pada masa remaja sampai dewasa, perasaan masa remaja, dan lingkungan.

Hasil penelitian menunjukkan, para partisipan mengalami gangguan kesurupan ketika muncul perasaan takut yang berkaitan dengan dunia supranatural, seperti roh halus. Contohnya, ajaran dilarang keluar rumah saat petang hari karena kala itu waktu keluarnya setan.

“Kalau cara keyakinan agamanya disertai rasa takut akhirnya keyakinannya jadi tidak sehat. Ini berlaku universal, tidak untuk agama tertentu,” kata dia yang berpengalaman melakukan terapi psikologi di berbagai daerah, dari Banda Aceh hingga Makassar ini.

Kondisi itu tak lepas dari proses konstruksi keyakinan agama personal yang disertai rasa takut dan berkaitan dengan suasana keluarga,relasi dengan ayah, serta pola pengasuhan yang menakut-nakuti.

“Penelitian menunjukkan pentingnya peranan keluarga di masa kanak-kanak dalam proses konstruksi keyakinan agama personal,” ungkap Siswanto yang menjadi doktor di UGM karena riset ini, akhir April 2020 lalu.

Ia menegaskan, hanya konstruksi keyakinan agama personal yang disertai perasaan takut yang berindikasi dengan terjadinya gangguan kesurupan. “Keyakinan agama yang tidak disertai perasaan takut tidak berindikasi dengan gangguan kesurupan,” kata dia.

Adapun kesurupan dipicu oleh kondisi lelah fisik, pertengkaran, atau tekanan diikuti berbagai emosi/perasaan negatif (takut, marah, jengkel, sakit hati, tidak nyaman) yang tidak bisa dikelola dengan baik.

“Ketika individu bisa mengontrol emosinya, gangguan kesurupan tidak terjadi, meskipun awalnya ada rasa takut yang menyertai keyakinan agamanya,” kata dia.

Siswanto memaparkan, pola pengasuhan penuh ancaman seperti menakuti-nakuti anak berkaitan dengan roh halus agar anak menuruti kemauan orang tua tampaknya akan membentuk keyakinan agama personal yang disertasi rasa takut.

Selain itu, keyakinan agama yang disertai rasa takut bisa terjadi dalam suasana keluarga yang diwarnai pertengkaran hingga menimbulkan rasa kurang aman dalam diri anak/rasa terancam.

“Penelitian ini memperlihatkan, pentingnya pengaruh keluarga dalam membentuk keyakinan agama individu sekaligus kesehatan mentalnya di kemudian hari,” simpulnya.

Selain itu, penanganan oleh ‘orang pintar’ secara kasar atau pembacaan doa yang kurang tepat justru bisa memperburuk kesurupan.

“Secara ilmiah, gangguan kesurupan murni disebut dissociative identity disorder (DID) atau kepribadian majemuk. Pemakaian obat tidak efektif karena sifatnya sementara dan dapat sembuh sendiri. Kalau penanganan salah, (pulihnya) malah lama,” tutur Siswanto.

Ia menjelaskan, ada dua jenis kesurupan, yakni kesurupan yang dianggap bukan sebagai gangguan. Kondisi ini ditemui dalam ritual budaya dan agama seperti meditasi dan trance.

“Adapun kesurupan sebagai gangguan ada yang disebabkan karena gangguan mental dengan tanda depresi dan gangguan kesurupan murni yang muncul tiba-tiba,” tutur praktisi terapi psikologi sejak 2004 ini.

Pada kesurupan murni, emosi menguasai individu tersebut. Wujudnya teriak-teriak, mengucapkan bahasa lain, menyebut diri sebagai orang lain atau makhluk lain seperti binatang.

“Sering kali jenis kesurupan itu tidak bisa kita deteksi dan bedakan antara gangguna jiwa dan kesurupan karena adanya klaim-klaim keyakinan dan penangannya yang salah,” ujarnya.

Kondisi orang kesurupan tak lepas dari pengalaman, memori, dan trauma di masa lalu. Ia mencontohkan pengalamannya menangani seorang remaja yang kesurupan dan menirukan gerak ular.

Ternyata, ia memiliki trauma pada ular saat usia tiga tahun. “Saat itu bahasa dia belum terbentuk. Jadi saat hadapi traumatik, responnya beda,” ujarnya.

Siswanto menjelaskan seseorang yang kesurupan dikuasai oleh emosi dan perasaan negatif, seperti takut, duka, marah, atau benci. Menurut literatur dan pengalamannya kondisi ini dapat pulih sendiri.

Sayangnya masyarakat kerap menangani kesurupan lewat ‘orang pintar’ atau paranormal. Padahal penanganan tersebut kerap kurang tepat, seperti dibentak bahkan dipukul. “Kalau terus diperlukan dengan kasar, dia jadi semakin beringas. Kalau sakit, diyakini habis bertarung dengan roh jahat,” katanya.

Menurut Siswanto, jika kemudian upaya paranormal itu membuat si kesurupan tenang, hal itu hanya bentuk koinsiden. “Dua Kejadian yang muncul berdekatan lalu dianggap punya hubungan sebab akibat,” ujarnya.

Siswanto juga menjelaskan, bukan hanya individu, kesurupan massal juga harus ditangani secara tepat. Kondisi ini biasanya muncul pada siswa sekolah saat lelah fisik dan mental, seperti jelang ujian nasional.

“Selama ini masyarakat sebenarnya agak kurang tepat dalam menangani kesurupan massal. Mereka yang mengalami kesurupan menjadi fokus perhatian, sedangkan mereka yang sehat tidak kesurupan diabaikan,” tuturnya.

Padahal mereka yang tidak mengalami kesurupanharus menjadi perhatian supaya kesurupan tidak meluas. “Prinsip yang dipegang adalah membangun suasana yang gembira dan penuh semangat,” kata Siswanto.

Ia menuturkan doa yang sebenarnya ditujukan untuk memohon keselamatan agar tidak terjadi kesurupan justru dapat memicu kesurupan. “Oleh beberapa peserta doa justru membangkitkan ketakutan kembali, diartikan sebagai situasi tidak aman atau ada kondisi bahaya,” kata dia.

Oleh karena itu, Siswanto mengingatkan supaya berhati-hati menggunakan doa dengan memilih ayat dan bahasa yang tepat, menenangkan, dan memberikan imajinasi suasana aman karena dalam lindungan Tuhan.

“Peserta bisa diminta untuk menyanyikan lagu-lagu gembira untuk memunculkan suasana gembira. Baru setelah itu doa syukur untuk memberi kesadaran bahwa hidup mereka dilimpahi rahmat oleh Tuhan,” tuturnya.

Tinggalkan komentar