garis-garis ilahi gusmus

2014-09-06 13.06.35

Penyair Timur Sinar Suprabana lekas mencoret-coret tembok putih itu. Tulisan “TERJUAL” ditulis besar-besar dengan spidol hitam yang mulai memudar. Di bawahnya, selain nama pembeli, Timur rupanya perlu membuat sebuah tanda panah ke arah objek jualan yang jelas-jelas persis di samping keterangan itu.

Di antara riuh jamuan makan siang Sabtu awal September itu, belasan lukisan yang dipajang Balairung Universitas PGRI, Semarang, itu satu-per satu dibubuhi keterangan tersebut. Tertera sebagai pembeli nama Ketua PBNU Said Aqil Siradj, kolektor seni Oei Hong Djien, pengusaha Haryanto Halim, dan pelukis Nasirun. “Saya tidak tahu harganya. Semua Gus Mus yang tentukan kepada pembeli,” kata Timur, yang bertindak layaknya pemasar karya.

Gus Mus, atau Mustofa Bisri, memang sohibul hajat acara itu. Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang, tersebut menggelar pameran lukisan dalam rangka ulang tahunnya yang ke-70. Semua lukisan yang dipajang karya pria kelahiran Rembang, 10 September 1944 itu. Malam harinya di tempat yang sama digelar selamatan dengan ratusan hadirin termasuk menteri, akademisi, pejabat dan budayawan.

Gus Mus memboyong 14 karya akrilik di atas kanvas. Katalog dan keterangan lukisan tidak menunjukkan tahun pembuatan karya tapi tarikh 2007-2014 digoreskan Gus Mus sendiri pada lukisan-lukisannya di pameran ini. Sebagian besar materi utamanya berisi ayat suci Al Quran.

Namun tidak tampak stilisasi yang berniat membagus-baguskan seperti layaknya kaligrafi. Gaya seperti ini muncul dari yang paling sederhana macam “Alif”. Dalam bidang warna gelap berdimensi 50x40cm, Gus Mus cuma menggoreskan garis lurus vertikal panjang kemerah-merahan dengan garis-garis kecil tak beraturan di sekitarnya.

Lukisan “Bismillah” juga alakadarnya. Lafal itu digores dengan cat warna biru dalam tiga baris yang jauh dari rapi dan tanpa memenuhi unsur kaligrafi pada kanvas 70×70 cm. Dalam pemaknaan paling sederhana, pada dua karya itu Gus Mus tampak mengagungkan hakikat Sang Pencipta tanpa polesan dan upaya membagus-baguskan mediumnya.

Hal itu ditegaskan lagi pada “Hanya Lafal” dengan penggarapan lebih sederhana lagi. Kanvas 40×40 cm polos diberi tarikan empat garis hitam vertikal yang secara ilusif membentuk lafal Allah berbentuk persegi. Materi serupa dikembangkan pada “O, Islamku” di mana visualisasi lafal Allah  pada matra 70×90 cm kelir hitam tersebut ditimpa teks Arab gundul warna merah yang bisa terbaca “wassalam”.

Karya lain mengombinasikan gaya kaligrafi “praktis” tersebut dengan visual tak kalah minimalis. Misalnya lukisan “Sujud” yang berdimensi 60×40 cm. Nyaris sekujur kanvas diisi lafal ayat suci warna putih yang saling tumpang tindih. Hanya seperempat bagian bawah tampak ilustrasi seseorang dalam mukena yang tengah bersujud.

Pada setiap karya, seluruh wujud manusia merupakan goresan dan sapuan alakadarnya. Ekstrimnya pada “Tuhan yang akan menolongnya”, karya berukuran 40×30 cm berupa dua lengkung sapuan dan dua tarikan kuas. Namun karya itu mengesankan seorang manusia yang tengah bersujud, mohon ampun, atau meletakkan kepalanya serendah tanah tanda bersrah diri

Pendekatan itu juga tampak pada karya tanpa judul berupa siluet sembilan orang dalam warna putih dengan latar belakang hitam. Mau tak mau imaji kita langsung melayang pada Walisongo, sembilan ulama penyebar agama Islam di  tanah Jawa. karya ini berangka tahun 2013 dan terjual kepada master kolektor lukisan asal Magelang, Oei Hong Djien.

Ilustrasi wujud manusia muncul juga pada karya “Pencitraan”. Pada latar hitam media berdimensi 80×90 cm, Gus Mus menghadirkan satu sosok manusia bertubuh besar. Tangan, dada, perut, dan pahanya yang terkesan penuh lemak hanya dicitrakan dengan garis-garis minimalis. Kendati begitu, kepalanya sungguh kecil. Seluruh tubuhnya sarat goresan berwarna. Jika ditilik dari judul dan materi, boleh jadi ruang tafsir karya ini sungguh-sungguh terbatas di momen-momen politik belakangan ini.

“Mulut-mulut” boleh dibilang karya yang menunjukkan tingkat visualisasi  manusia dan ruang pemaknaan secara lebih lanjut. Ada empat kepala pada karya berukuran 60x60cm itu. Tiga menghadap depan, di mana dua wajah berwarna merah muda dan satunya lagi kelir biru yang mengenakan kopiah. Satu wajah lagi memakai kacamata hitam dalam posisi terbalik. Dari mulut si wajah biru mengalir darah yang tepat menetes di mulut si kacamata hitam.

Dari sekian karya tersebut, hanya satu yang memiliki sentuhan realis yakni “Potret Diri”. Wajah Gus Mus dengan kopiah, kacamata, dan rambut putihnya tampak dari samping dan berada di sudut bawah bidang 40×50 cm dalam dominasi warna hitam. Kabarnya, karya ini dibanderol paling mahal, Rp 100 juta.

Jejak personalisasi Gus Mus tertinggal secara khusus pada karya istimewanya: lukisan amplop. Di situ, ia menuangkan kalimat-kalimat pendek lewat tinta disertai ilustrasi sederhana dari coretan endapan nikotin pada pipa rokok. Terasa istimewa karena karya-karya ini dibuat ketika Gus Mus masih rajin merokok sementara sekarang ia sudah berhenti.

Ada delapan amplop lukisan yang dipamerkan. Ilustrasi nikotin kadang bisa dikenali, tapi lebih sering tidak.  Beberapa bisa diraba jika disandingkan dengan teks di sampingnya. Misalnya, pada salah satu amplop tertulis “Setiap keindahan tetap saja keindahan…” dan goresan di sisinya bisa ditafsirkan sebagai citra—yang mendekati–perempuan berjilbab.

Ilustrasi lain terkesan kuat menunjukkan seekor binatang menyerupai anjing. Kesan kuat ini lumayan terkonfirmasi dari kalimat di sebelahnya: “Keindahan ciptaan-Nya menunjukkan keindahan-Nya/ keindahan semua ciptaan-Nya menunjukkan bahwa ia menyukai keindahan…”

Tidak salah jika karya-karya Gus Mus ini disebut serupa lukisan Tiongkok klasik. Karya diisi pesan penuh makna dan dihiasi ilustrasi sederhana. Adapun kalimat-kalimat Gus Mus pada amplop sesuai puisi-puisinya yang simpel namun bernas dan mendalam. Kata-kata dengan makna jernih tanpa bermaksud nyastra, berindah-indah.

Agaknya tepat apa yang dituliskan kurator Sri Boentoro. Menikmati karya Gus Mus hanya dengan kacamata analisis teknis agak banal. Bahkan bisa dibilang Sri tak perlu menambahkan kata “agak” yang menunjukkan rasa sungkan. Lukisan –kalau memang bisa disebut sebagai lukisan—Gus Mus memang sangatlah banal jika diapresiasi dari khazanah seni belaka.

Gus Mus jelas mengabaikan analisis teknis seni rupa. Puisi dan karya rupa, dalam bahasa Sri, ibarat lembar dan bongkah kayu gofir yang disiapkan Nabi Nuh untuk membangun bahtera yang menyelamatkan manusia dari air bah. Banjir bandang itu, buat kita, adalah kecongkakan dan perasaan paling benar sendiri. “Karya-karya ini tak berhenti sekadar sebagai cermin, tapi menyentak kita untuk segera mematut diri sesuai kodrat Ilahi,” kata Sri.

Gus Mus memamerkan karya rupanya dalam perayaan ulang tahun pertamanya. Acara ini digelar kolega, rekan, dan murid dari ulama, budayawan, juga seniman itu. Bahkan ia sempat kaget karena merasa “selamatan” itu tak seperti acara selamatan pada umumnya lantaran kelewat mewah. Selamatan terasa istimewa karena menampilkan karya lukisnya, yang jika ditotal kata Gus Mus “buaaanyak sekali”.

Dalam jagat seni rupa, Gus Mus kondang dengan gayanya mbeling dan kontroversial. Ini tampak dari karyanya “Berzikir bersama Inul” 2003 yang menampilkan biduan Inul bergoyang di tengah pengajian. Tapi sekarang karya semacam itu tak terlihat lagi. Nyaris semua lukisan bertema religius dan tanpa perlu dikurasi untuk tampil di pameran ini. “Wong punya saya cuma ini,” kata dia.

Jumlah seluruh karya Gus Mus yang melimpah itu turut disumbangkan lukisan amplop waktu ia masih rajin ngepul. Tercatat, Gus Mus pernah menggear pameran tunggal 99 Lukisan Amplop pada 1997. Pameran tunggal terakhirnya digelar di Surabaya sekitar tahun 2001. Partisipasi dalam pameran terakhir dua tahun silam bersama antara lain Jeihan, Sapardi Djoko Damono, dan Zawawi Imron.

Dalam melukis, Gus Mus tak terikat tema dan gaya. “(Melukis) Itu kan tidak bisa disamakan dengan tulisan. Biar dinikmati aja, gak pakai hal apa-apa,” kata dia. Tapi, lanjut dia, “Melukis atau menulis itu sama saja. Prinsip saya, saya tidak akan tunduk pada siapa-siapa kecuali Tuhan. Saya menulis, menulis saja. Kalau tidak dilarang menulis Tuhan, saya menulis apa saja. Melukis juga. Tidak terpengaruh apapun.”

Ini mungkin seperti salah satu “puisi“ amplopnya. “Serasa ada yang menuntun tanganku mempermainkan kuasku…”

Tinggalkan komentar